Indonesia telah berhasil memasuki periode konsolidasi menuju demokrasi dengan kesuksesan penyelenggaraan Pemilu legislatif dan Presiden beberapa waktu lalu. Kini dengan terpilihnya kembali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kita semua berharap bahwa proses konsolidasi demokrasi ini dapat diikuti dengan proses nyata menuju kemamuran dan kesejahteraan bangsa. Bagi setiap bangsa dalam mengelola kehidupan kebangsaannya termasuk upaya mencapai kesejateraan dan kemakmuran dituntut mampu mengelola dan menjawab tidak hanya tantangan atau persoalan di dalam negeri namun juga berbagai tantangan dan persoalan eksternal yang dihadapinya.

Presiden SBY tampaknya sangat menyadari pentingnya hal ini tatkala beliau berbicara tentang visi strategis era globalisasi ini. Dalam hal kebijakan luar negeri Presiden SBY menyinggung bahwa Indonesia akan menempuh ”all directions foreign policy”, dimana kita dapat menjalin hubungan persahabatan dengan pihak manapun untuk kepentingan nasional kita – apakah Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Kita dapat bebas berkiprah menjalankan diplomasi dengan prinsip ”sejuta kawan, dan tak ada musuh” (a million friends, zero enemy).

Sementara itu Menlu RI sendiri beberapa waktu yang lalu telah menegaskan dalam masa kepemimpinannya akan berupaya mendorong kebijakan luar negeri Indonesia untuk dapat mengkonsolidasikan posisi kepemimpian di kawasan regional serta mengantar kebijakan luar negeri Indonesia di tingkat lain. Secara lebih lugas Menlu RI menegakan keinginannya untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain yang diperhitungkan di tingkat global di masa mendatang.

Kita patut bersyukur dalam hal ini mengingat bahwa pernyataan para elit pimpinan nasional tersebut menunjukkan kesadaran yang mendalam atas keterkaitan yang erat antara upaya mensukseskan pembangunan di dalam negeri dengan kemampuan untuk mengelola dengan baik berbagai persoalan di luar negeri. Lebih lanjut kesadaran kita atas keterkaitan yang erat tersebut hendaknya juga perlu dilengkapi pengertian yang mendalam atas bagaimana sesungguhnya kebijakan luar negeri dari suatu negara dirumuskan dan bagaimana kebijakan luar negeri tersebut diterjemahkan kedalam suatu tindakan yang nyata dari suatu negara dalam pergaulan masyarakat internasional.

Bertolak dari sini jika dicermati secara seksama maka akan terlihat bahwa suatu kebijakan luar negeri tidak akan pernah dapat dipisahkan dari elemen-elemen aktor (dalam artian negara yang menjadi inisiator kebijakan), proses dan system atau konteks dalam pengertian masyarakat internasional yang melingkupi aktor/negara tersebut. Dari perspektif ini kita bisa mengatakan bahwa keinginan untuk menerapkan suatu kebijakan luar negeri yang mampu meletakkan Indonesia sebagai pemain di tingkat global merupakan niat atau keinginan dari Indonesia sebagai aktor pada system/konteks masyarakat internasional.

Suatu kebijakan tentunya tidak bisa berhenti pada keinginan belaka namun memerlukan suatu metode atau tindakan yang dilakukan guna mewujudkan tujuan kebijakan tersebut. Dalam hal ini dengan kebijakan diplomasi “sejuta kawan dan tidak ada musuh” merupakan metode atau strategi diplomasi yang dipilih untuk dapat mewujudkan tujuan kebijakan luar negeri dimaksud. Pada tahapan inilah kita harus berbicara atas apa yang disebut sebagai proses dalam pengertian bagaimana pilihan metode kebijakan ini dapat benar-benar diimplementasikan secara nyata sebagai bentuk prakarsa Indonesia sebagai aktor dalam mencapai keinginan atau kepentingannya dalam system/konteks masyarakat internasional yang melingkupinya.

Sejak digulirkan dalam bentuk keinginan oleh elit pengambil keputusan atau pimpinan nasional, hingga berwujud suatu kebijakan atau aksi maka, suatu kebijakan sudah mengalami proses interaksi yang dinamis setidaknya dalam konteks pengambilan keputusan secara domestik. Dalam konteks negara modern yang demokratis seperti Indonesia tentunya bergulirnya suatu niat atau ide harus melalui proses pengambilan keputusan pada level birokrasi negara baik di tingkat eksekutif (Presiden dan Menlu RI ) maupun legislatif yaitu parlemen atau DPR. Pada tahapan ini tidak terhindarkan pula bagi para pengambil keputusan terutama pada tingkat eksekutif untuk memperhatikan berbagai aspirasi tidak hanya lembaga legislatif yang memang berfungsi sebagai mitra yang sejajar tapi juga dari lapisan masyarakat lainnya yang belum tentu serupa dengan ide atau keinginan para elit di tingkat eksekutif. Pada tahapan ini pula hampir tidak mungkin bagi para pengambil keputusan baik eksekutif maupun legislatif untuk tidak memperhatikan realita yang ada di tingkat domestik. Hal ini mengingat suatu perumusan kebijakan apalagi di dalam konteks masyarakat yang demokratis tidak akan mungkin hidup dalam suatu ruang vakum yang kebal dari realita sosial-politik dan budaya di sekitarnya.

Dalam kaitan ini maka perumusan kebijakan luar negeri Indonesia tidak terhindarkan untuk memperhitungkan lanskap atau realita sosial politik domestik yang menaunginya misalnya antara lain :

a. Sistem politik Indonesia yang demokratis mendorong timbulnya struktur atau lingkungan pengambilan keputusan kebijakan yang menuntut partisipasi luas dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian pemerintah tidak lagi bisa memonopoli keseluruhan proses pengambilan keputusan termasuk dalam hal kebijakan luar negeri

b. Sebagai konsekuensi masyarakat demokratis maka partisipasi dan aspirasi masyarakat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas tentunya menjadi semakin kuat.

c. Kepentingan untuk merefleksikan nilai-nilai di dalam negeri seperti demokrasi dan penghormatan terhadap HAM, demokrasi dan lingkungan hidup. (Ibid Rizal Sukma, 2005)

d. Realita masalah kehidupan sosial ekonomi yang dihadapi mayoritas rakyat Indonesia sehari-hari seperti masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, krisis energi dan pangan, pemberantasan korupsi serta isu lainnya.

Lebih lanjut suatu perumusan kebijakan luar negeri di tingkat domestik juga perlu memperhatikan adalah faktor geografis dan geopolitis yang dihadapi negara itu sendiri. Kondisi geografis suatu negara secara alami akan selalu melahirkan sejumlah persoalan tersendiri dan dan akan amat berpengaruh terhadap kondisi politik, keamanan, ekonomi, sosial-budaya dari negara itu sendiri. Sebagai akibatnya faktor-faktor ini tentu tidak dapat diabaikan pula dalam upaya perumusan kebijakan luar negeri dari suatu negara. Dalam konteks Indonesia dengan kondisi geografisnya sebagai negara kepulauan yang terletak di kawasan Asia Pasifik, berbatasan dengan samudera pasifik dan hindia, serta dilewati oleh jalur pelayaran internasional strategis seperti selat Malaka dan Lombok, tentunya melahirkan sejumlah tantangan dan persoalan baik dari aspek kedaulatan, keamanan, ekonomi dan sosial di dalam negeri, sehingga sangat logis untuk menjadi unsur pertimbangan saat perumusan kebijakan luar negeri, baik sejak tahapan identifkasi keinginan/tujuan hingga pada tahapan proses implementasi kebijakan.

Setelah melewati tahapan proses implementasi maka tibalah kita pada tahapan sistem/konteks yang menaungi negara terutama dalam kaitan bagaimana sistem akan bereaksi dalam bentuk umpan balik terhadap inisiatif kebijakan diplomasi suatu negara, dan bagaimana negara sebagai inisiator kebijakan menangkap umpan balik untuk tersebut, mengolahnya serta merespon kembali baik dalam bentuk pengulangan kebijakan maupun perubahan kebijakan. Dalam suatu kondisi dimana negara berada dalam suatu lingkup sistem/konteks yang sepenuhnya bisa dikontrol atau dimanipulasi, maka negara tersebut memiliki kebebasan sepenuhnya untuk mengimplementasikan inisiatif kebijakan yang menguntungkan atau menjamin keinginannya.

Namun realita sistem/konteks masyarakat internasional secara empiris saat ini ternyata tidak ada yang menunjukkan kondisi dimana suatu negara memiliki kebebasan sepenuhnya untuk mengimplementasikan keinginan atau kepentingannya. Realita secara empiris justru menunjukkan bahwa sistem/konteks internasional saat ini merupakan suatu sistem yang dipenuhi oleh berbagai macam aktor baik negara-negara lain, organisasi internasional, atau elemen masyarakat sipil yang sangat mungkin memiliki kepentingan yang berbeda atau tidak sepenuhnya sejalan dengan negara yang melakukan inisiatif kebijakan. Dengan demikian suatu sistem/konteks internasional sendiri sudah merupakan suatu lingkup yang sangat dinamis. (Elisabeta Brighi dan C. Hay, “Foreign Policy Implementation”, 2007)

Lebih lanjut ketika kita bicara tentang beragamnya kepentingan tersebut kita menyadari pula bahwa lingkup masyarakat internasional merupakan sistem/konteks yang bersifat politis dimana sangat mungkin setiap negara akan cenderung memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Dalam konteks sistem atau masyarakat internasional yang politis ini maka tidak dapat pula kita untuk tidak memperhatikan apa yang disebut sebagai power atau dalam hal ini bisa disebut sebagai kapasitas suatu negara. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan mengingat suatu inisiatif kebijakan dan diplomasi dari suatu negara tentunya membutuhkan power atau kapasitas dalam artian segenap sumber daya yang dimiliki negara guna mempengaruhi negara lain untuk mewujudkan keinginan atau kepentingan yang ingin dicapai.

Pada kesempatan pidato di hadapan sidang paripurna DPR beberapa waktu lalu sebelum pelantikannya untuk masa jabatan kedua, Presiden SBY pernah menyinggung bahwa Indonesia akan selalu berpartisipasi dalam upaya untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih aman dan lebih damai melalui keanggotaan di di forum-forum ASEAN, G-20, APEC, ASEM, D-8, OKI. Jika kita letakkan upaya partisipasi ini dalam kaitan inisiatif kebijakan luar negeri Indonesia di dalam suatu sistem/konteks masyarakat internasional yang bersifat politis, maka berarti Indonesia tentunya perlu mengukur seberapa jauh kapasitas yang dimiliki dalam berinteraksi dengan aktor-aktor internasional lain guna mewujudkan keinginan atau tujuan diplomasi yang ingin dicapai tersebut. Mampukah Indonesia misalnya menyamai berbagai kekuatan dunia baik dengan kekuatan tradisional seperti AS, Inggris, dan Uni Eropa maupun dengan kekuatan yang baru muncul seperti negara-negara BRIC ( Brazil , India China dan Rusia) ? Sampai seberapa jauh kapasitas yang dimiliki Indonesia untuk mampu mempengaruhi kekuatan-kekuatan dunia tersebut ? Sampai seberapa jauh kapasitas Indonesia mampu menyerap umpan balik dari kekuatan-kekuatan dunia yang bisa berarti dalam bentuk counter inisiatif atau kebijakan sebagai reaksi atas inisiatif Indonesia ?

Sejumlah pengamat termasuk pengamat di dalam negeri menyebutkan bahwa Indonesia sangat layak untuk disebut sebagai negara dengan middle power (kekuatan tingkat menengah). Namun penentuan status kekuatan tingkat menengah atau kekuatan adi daya sekalipun merupakan penilaian yang tidak dapat dilakukan secara sepihak melainkan berdasarkan penilaian masyarakat internasional atas kapasitas obyektif yang dimiliki negara dimaksud (kekuatan militer, kekuatan ekonomi misalnya GDP per kapita, birokrasi yang efektif, dan lain-lain). Dalam hal inilah kita perlu jujur mengkaji sudahkah Indonesia memiliki segenap kapasitas yang dimaksud secara obyektif ?

Uraian singkat di atas kiranya dapat memberikan gambaran betapa kompleksnya realita suatu proses perumusan kebijakan luar negeri. Karena itu suatu penentuan dan perumusan kebijakan luar negeri tetap harus berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat rasional dalam artian :

a. didasarkan pada pemahaman obyektif terhadap apa yang menjadi kebutuhan atau prioritas, persoalan dan tantangan yang dihadapi serta dilengkapi pula dengan pemahaman atas hambatan-hambatan yang akan ditemui

b. kesadaran dan pemahaman secara obyektif atas kekuatan atau kapasitas yang dimiliki untuk dapat mencapai keinginan atau tujuan inisiatif kebijakan yang dirumuskan

c. parameter yang jelas sebagai alat untuk mengukur secara obyektif sampai seberapa jauh target tersebut dikatakan berhasil dicapai.

d. penentuan tujuan dan target tersebut juga hendaknya dilengkapi dengan parameter jangka waktu yang diinginkan dalam mencapai target tersebut.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa pengambilan keputusan atau pilihan kebijakan luar negeri sesungguhnya tidak dapat didasarkan hanya pada keinginan apalagi ambisi dari pimpinan atau pengambilan keputusan belaka. (Rizal Sukma, 2005), namun perlu didasarkan dari suatu proses yang obyektif dan penuh pertimbangan yang ketat. Tak kalah pentingnya untuk memahami proses perumusan kebijakan luar negeri melalui pemahaman atas elemen-elemen dasarnya yaitu aktor, proses dan sistem/konteks yang melingkupinya, serta bagaimana masing-masing elemen tersebut saling berinteraksi secara dinamis.

Kesadaran atas realita yang kompleks dari proses perumusan kebijakan luar negeri dan pemahaman atas elemen-elemen serta dinamikanya inilah yang kita harapkan dari para elit pimpinan nasional terutama Presiden SBY sebagai pucuk pimpinan nasional sebagai pengambil keputusan tertinggi dari perumusan kebijakan nasional termasuk kebijakan luar negeri. Tanpa ada pemahaman terhadap hal-hal tersebut dapat menyebabkan terjebaknya para pengambil keputusan untuk merumuskan kebijakan luar negeri hanya didasarkan pada daftar keingingan (wish list) atau daftar ide besar yang kurang realistik (lofty ideas) tanpa ditunjang oleh kapasitas yang cukup untuk mengimplementasikannya secara riil.

Terlebih fatal lagi jika kebijakan luar negeri yang dirumuskan ternyata tercerabut dari kebutuhan dan kepentingan riil rakyat yang seharusnya justru menjadi subjek dan tujuan akhir dari kebijakan dimaksud. Dalam hal ini maka yang terjadi adalah munculnya kebijakan luar negeri yang “mengawang-awang” tanpa dapat memberikan manfaat yang nyata terhadap perbaikan peri kehidupan rakyat banyak. Tentunya kita sangat berharap bahwa para pimpinan nasional kita untuk dapat memahami dan menghindari prospek negatif ini.

RH

London , 9 Desember 2009